Amphawa tiga jam saja

Minivan yang mengantar kami baru saja berlalu. Meski derunya masih belum sepenuhnya hilang dari pendengaran, tapi kami semua sudah tercerai berai. Sebagian besar langsung menuju arah sungai. Tujuan kami sama: Pasar Terapung!
Konon, sebagian besar pejalan lebih suka mengunjungi Damnoen Saduak. Sebuah pasar terapung yang lain yang memang sudah sangat terkenal di jagat perjalanan.  Tapi tetap saja pada akhirnya saya melewatkan Damnoen Saduak dan memilih Amphawa karena menurut cerita, originalitas Amphawa masih terjaga. 
Sore itu Amphawa yang panas tak membuat langkah para penjelajah surut. Menyusuri pasar 'darat' yang berada  di pinggiran sungai. Mata saya tertumbuk pada aneka seafood yang begitu menggoda iman. Cumi bakar, udang, dan aneka kerang-kerangan. Sebuah lapak menawarkan tiga piring besar berisi aneka kerang dipatok dengan harga 150 baht. Atau sekitar 60 ribu rupiah.

Seafood everywhere

"You try this. It's good!" sang Penjual dengan bahasa Inggris yang patah-patah berusaha merayu saya. 
Saya mencomot sebuah kerang lalu mencocolnya ke sambal. Ssmbal yang unik. Pedas (terbuat dari lombok rawit hijau) namun ada rasa asemnya. Akhirnya saya memutuskan untuk membeli paket 150 baht itu. Baru setelah duduk saya jadi berpikir. Porsi sebanyak ini siapa yang bakal ngabisin????

Tiga paket kerang 150 baht
Saya kekenyangan. Tapi takjub juga karena pada akhirnya saya mampu menghabiskan tiga piring besar kerang.

Selanjutnya saya hanya mengikuti kemana orang-orang melangkah. Terus terang saya memang bukan traveler yang sangat well-prepared  jadi segala hal yang saya tahu cuma bagaimana caranya menuju Amphawa dari Bangkok dan pulang ke Bangkok lagi. Saya sama sekali tidak mengetahui peta wisata Amphawa. Jadi satu-satunya ide brilian saat itu adalah mengikuti kerumunan saja!
Saya terus berjalan. Masih mengikuti orang-orang. Hingga akhirnya saya menemui sisi lain dari pasar darat yang maha berjubel. Dagangan yang ditawarkan masih saja sama. Makanan, makanan, dan minuman. Selain terselip satu atau dua buah lapak yang menjual perlengkapan sesaji.


Lautan Manusia


Saya terus berjalan hingga menyeberangi jembatan. Tepat di atas jembatan, terhampar pemandangan yang menakjubkan. Meski belum terlalu ramai namun sungai di bawah jembatan ini telah dipenuhi oleh jukung-jukung yang digunakan sebagai tempat berjualan. Sementara itu di tepi sungai bangku-bangku telah ditata sebagai tempat pembeli yang hendak menikmati kuliner yang diperdagangkan di pasar terapung itu. 

Bertemu pasar terapung



Menuruni jembatan, saya kemudian berbelok menyusuri tepi sungai. Campur aduk suasana di sini. Seorang wanita dalam bahasa Thai sibuk mengabarkan program jelajah sungainya lewat pengeras suara. Bocah-bocah Amphawa yang asyik bermain-main sambil sesekali membantu para pedagan di pasar terapung itu sebagai pramusaji. Wisatawan yang sibuk menangkap berbagai momen langka lewat kameranya. Bau sedap masakan yang menguar bercampur aroma kopi dari kafe di sudut jalan. Deretan toko-toko tua yang menjual aneka macam barang mulai suvenir, makanan, hingga perlengkapan ibadah.

Toko suvenir favorit plus kopinya enak

Asyik merajut


Teriakan penjaja tiket jelajah sungai akhirnya berhasil merebut perhatian. Menurut rekomendasi para penjelajah, fireflies boat trip selepas senja nanti wajib untuk ditunaikan. Dan konon, demi atraksi yang satu ini, para penjelajah rela menghabiskan malam di tempat ini dan baru kembali meneruskan perjalanannya esok hari. Namun saat itu tidak memungkinkan bagi saya untuk bermalam di sana. Akhirnya saya memutuskan untuk mengambil boat trip biasa seharga 50 baht itu.
Dan inilah Amphawa. Memang berbeda dengan Bangkok. Tentu saja.  Meski Amphawa sudah bisa dinobatkan sebagai  tempat wisata yang cukup terkenal, nyatanya si mbak penjual tiket boat trip ini tak bisa berbahasa Inggris. Dia tetap saja berbicara dalam bahasa Thai yang anehnya sore itu justru membuat otak saya merasa overload.

"Sorry, I can't speak Thai. I'm not Thai people!" saya berusaha menjelaskan. Tak lupa saya mengulurkan uang 50 baht kepadanya, mencoba membantu membuat dia mengerti bahwa saya akan mengikuti boat trip yang itu.
Tapi dia tetap tidak mengerti!
Nyaris putus asa dan sudah mulai menata hati untuk melupakan saja boat trip itu, ketika seseorang menawarkan saya untuk menjadi translator. Dan dalam sekejap, uang saya sudah berpindah tangan dan sebagai gantinya ada tiket yang saya genggam.
Si translator memberi tahu bahwa saya harus menuju ke konter satunya untuk tahu perahu mana yang nantinya akan saya pergunakan. Setelah mengucapkan terima kasih, bergegas saya menuju tempat yang memang harus saya tuju.

"You wait till the boat full! tukang perahu memberitahu saya demikian ketika saya dengan riangnya menaiki perahu. Saya baru menyadari bahwa saya sendiri saja di dalam perahu itu.
"For how long?" tanya saya.
Tukang perahu itu terkekeh. "One hour" katanya sambil kemudian berlalu.
Saya yang waktu itu sedang menyeruput air mineral jadi tersedak. Satu jam! Sekarang sudah jam empat lebih. Sementara sebelum jam tujuh saya sudah harus berada di pick up point agar tidak tertinggal dan bisa kembali ke Bangkok malam ini. Padahal, konon trip ini memakan waktu minimal satu hingga satu setengah jam. Tapi saya tak bisa berbuat apa-apa. Membatalkan trip juga tak membuat uang saya kembali. Atau misal saya bisa meminta uang 50 baht itu kembali, saya membayangkan harus berjuang ekstra keras mengingat si penjual tiket hanya bisa berkomunikasi dengan bahasanya sendiri.
Untungnya tak sampai empat puluh lima menit kemudian saya sudah menyusuri sungai.

Perahu penjelajah

Tak ada yang amat spesial dari boat trip ini. Sejujurnya saya berharap bisa menemui wat-wat cantik yang mungkin sedikit berbeda dengan yang ada di Bangkok. Nyatanya saya hanya bisa menemui wat-wat kusam. Bersih. Namun kusam! Seorang wanita Thailand yang merupakan salah satu peserta berbaik hati pada saya menceritakan kisah-kisah menarik tentang wat-wat yang saya kunjungi. Pada akhirnya cerita wanita itulah yang bisa membuat saya jadi lebih menikmati trip jelajah sungai ini.
Hujan yang kemudian turun di penghujung penjelajahan membuat tukang perahu harus memacu perahunya lebih kencang. Saya harus pasrah terguncang-guncang dan terkena cipratan air sungai. Dan kala perahu merapat ke dermaga kecil, saya segera melompat keluar. Sudah jam enam lewat. Bergegas saya menuju pick up point sambil tak lupa membeli segelas es kopi (lagi!).

Sementara itu, senja semakin beranjak tua. Ditimpa rinai hujan dan bau tanah basah

0 komentar: