Menjumpai Candi Berbata Merah di Trowulan

Siang itu saya menjumpai Trowulan. Debu dan panas yang menyengat tak membuat langkah menjadi surut untuk menjelajah. Oke! Kali ini saya akan menjelajah dengan 'cantik'. Bukan mblusuk berjalan kaki atau naik motor tetapi mblusuk dengan sedan kinclong. Yah, Trowulan memang disisipkan dalam rute perjalanan saya dari  Surabaya menuju Semarang. Sekitar jam tiga siang menjelang sore saya tiba di sana dan langsung menuju Museum Majapahit. Tujuannya satu. Mencari pemandu yang akan menemani saya berkeliling bekas kompleks kerajaan Majapahit ini. Saat ini saya sedang tidak tertarik untuk nyasar. Waktu saya tak banyak. 
Meja informasi Museum Majapahit siang menjelang sore itu agaknya sedang tak terlalu sibuk. Ibu petugasnya menyapa saya dengan ramah. Saya langsung saja mengutarakan maksud. Ingin menyewa pemandu. Ibu itu lalu menyampaikan bahwa sekarang sudah jam tiga lewat. Dan jam kerja pemandu resmi adalah sampai jam empat. Mengelilingi Trowulan akan memerlukan waktu lebih dari satu jam. Meski hanya ke situs-situs utamanya saja. Dan seperti biasa saya mengajukan negosiasi yang pada akhirnya muncul suatu kesepakatan bahwa akan ada uang lembur yang dibebankan pada kita.
Oke! No problemo, pikir saya.
Rute blusukan 'cantik' yang saya ambil adalah sebagai berikut: Candi Tikus, Candi Bajang Ratu, Kolam Segaran, Candi Brahu, Vihara Mojopahit, Gapura Wringin Lawang, dan Candi Kedaton. 

Sebuah gapura langsing berbata merah menyapa ketika saya memasuki sebuah kompleks. Gapura Bajang Ratu! Mas Pemandu bercerita seklumit mengenai sejarah Majapahit yang terkait dengan gapura ini. 

"Bajang Ratu artinya adalah raja yang kecil atau cacat. Konon raja Jayanegara waktu kecil pernah jatuh di gapura ini kemudian cacat. Tapi adapula yang mengabarkan bahwa raja kecil ini maksudnya adalah Jayanegara yang diangkat menjadi raja di usia yang masih sangat muda. Gapura ini memang sangat terkait dengan Jayanegara"

Bajang Ratu

Terlepas dari cerita sejarahnya sendiri, candi ini memang luar biasa. Ketika bata merah berpadu dengan langit biru dan hijau rumput, semuanya jadi terlihat indah!
Puas berada di sini, saya melanjutkan perjalanan lagi. Candi Tikus adalah spot kedua dalam tur Trowulan kali ini. 
Candi Tikus ini sebenarnya adalah sebuah kolam pemandian. Atau biasa disebut pertirtaan. Nama 'Tikus' sendiri diberikan karena konon, ketika candi ini ditemukan, ternyata saat itu candi ini telah menjadi sarang tikus. 
Sore itu, situs ini terlihat menawan. Refleksi bata merah dan langit biru yang tergambar pada air kolam memang luar biasa.

Candi Tikus 
Rute berikutnya adalah Candi Brahu. Dari Candi Tikus ke Candi Brahu, saya harus menyebarangi jalan raya Mojokerto-Surabaya. Setelah sampai di sana, lagi-lagi saya terperangah. Berbeda dengan kedua temannya tadi, candi ini bisa dibilang sebagai sebuah Mega Structure dengan lubang segi empat. 

"Konon, bangunan ini digunakan sebagai tempat pembakaran jenazah (kremasi) bagi empat raja Majapahit yang pertama"


Saya menyentuh bata-bata merah itu perlahan. Bata merah yang usianya sudah ratusan tahun dan sarat akan cerita. Sambil membayangkan betapa hebatnya orang-orang jaman dulu, membangun suatu bangunan yang kokoh dan besar, begitu indah dan begitu detail.



Candi Brahu


"Mau melihat patung Sleeping Budha ala Trowulan??" Saya mengangguk. Sebelum melihat patung Sleeping Budha versi Wat Po di Bangkok, bolehlah pemanasan dulu dengan mengunjungi patung Sleeping Budha versi Trowulan!
Beberapa saat kemudian saya sudah berada di halaman Maha Vihara Majapahit.

Patung Sleeping Budha

Meski tak sebesar versi Wat Po maupun versi Ayyuthayya, tapi patung Sleeping Budha yang satu ini tetap cantik. Konon, patung ini merupakan patung Sleeping Budha terbesar ke tiga setelah Thailand dan Sri Langka. Wow!

Waktu terus memburu. Bergegas saya menuju ke Candi Kedaton. Konon, bangunan ini dulunya adalah sebuah keraton. Sebuah atap terpal menaungi situs ini. Ternyata situs ini masih berada pada kondisi rekonstruksi. Sang pemandu menunjukkan watu gilang yang ada di situs ini. 
"Watu gilang ini dulunya adalah singgasana raja." begitu penjelasan beliau. 

Candi Kedaton

Sore semakin menua. Matahari mulai malu-malu memancarkan sinarnya ke bumi. Sebelum meninggalkan Trowulan, saya menyempatkan diri untuk mengunjungi Gapura Wringin Lawang. Gapura ini dipercaya sebagai pintu masuk kompleks kerajaan Majapahit. Tetapi ada pula yang meyakini bahwa gapura ini dulunya adalah pintu masuk kediaman Patih Gajahmada. 

Gapura Wringin Lawang

Tepat sebelum langit berubah gelap, saya mengakhiri tur singkat keliling Trowulan. Sebenarnya masih banyak situs yang belum saya datangi. Tapi tak apa. Kali lain saya pasti akan menggenapinya.



0 komentar: