Mengintip Lasem Heritage Trail


Aku mengamati orang-orang yang berkerumun itu. Wajah-wajah yang ceria. Dalam balutan busana warna-warni mereka rajin mengumbar senyum. Sementara lelaki tua yang konon adalah pemimpin tempat ini sedang asyik bercerita tentang tempat ini. Tapi tentu saja bukan tentang aku!
Sebagian kecil peserta di Cu An Kiong
Sementara itu wajah-wajah yang tak asing ikut muncul. Sesekali ikut menerangkan sesuatu. Sedangkan yang lain ada yang cuma duduk diam sambil mengamati susasana. Ada pula yang asyik mengabadikan peristiwa yang tak terlupakan ini.
Siang ini Lasem begitu panas. Aku menyeka peluh yang mulai membasahi tubuhku. Sambil terus bergerak mengikuti rombongan itu. Pop, si wajah yang tak asing itu, selalu menebarkan senyum meladeni rombongan yang menurutku lumayan gegap gempita. Cu An Kiong sejenak menjadi riuh. 
Tak begitu lama, mereka pun pergi. Berpindah ke vihara yang berada tepat di belakang klenteng. Beberapa yang tertinggal bergegas menyusul. Seperti biasa aku menjadi yang terakhir. Seperti ingin memastikan bahwa tak ada lagi peserta yang terpisah dari rombongannya. 
Vihara yang suram ini bukan tempat favoritku. Tapi, karena toh acara ini bernama Heritage Trail yang artinya kurang lebih adalah jalan-jalan ke tempat pusaka, maka vihara suram ini pastinya harus diikutsertakan dalam acara ini.
Beberapa peserta rombongan yang bernyali menaiki tangga di pojok vihara ini. Tangga yang cantik. Hanya ini satu-satunya hal yang aku suka dari tempat ini. Aku memilih menunggu di bawah. Hawa panas di loteng sana tak membuatku nyaman.
"Hei! Mau kemana mereka??" setengah berteriak aku berusaha mengejar ketertinggalanku. Baru ditinggal sebentar saja bermain dengan anjing-anjing lucu, Vihara ini mendadak senyap. Bergegas aku menyusul mereka. 

Menuju destinasi berikutnya

Lawang Ombo atau Rumah Candu ternyata adalah tempat yang mereka datangi selanjutnya. Para peserta jalan-jalan itu berjalan kaki menuju Rumah Candu. Sementara anak muda itu, Pop namanya, berjalan mengiringi mereka. Tiga teman Pop lainnya yang berkaos hitam (mereka menyebut dirinya sebagai Bhre Lasem. Dan entah mengapa ingatanku kembali pada masa lalu yang romantis itu) mengawal rombongan dari belakang. Memastikan tak ada yang tertinggal atau salah arah, meski jarak Vihara dan Rumah Candu hanya sepelemparan batu.
Sekali lagi aku bertemu dengan bapak tua tadi. Kalau tak salah aku dengar namanya Pak Gandor. Para peserta langsung berkerumun mengikuti Pak Gandor. Sementara aku memilih tidak ikut serta. 

Pop, selalu setia menemani dan memandu kelompok Heritage Trail
Hari semakin siang. Setengah mati aku menahan rasa panas dan lelah. Ketika akhirnya mereka berangkat ke rumah dedengkot pengrajin batik yang terkenal itu, akhirnya aku menghela napas lega. 
Batik Pak Sigit, begitu mereka biasa menyebutnya. Katanya, nggak sah ke Lasem jika tidak mampir di batik Pak Sigit. Sebuah rumah kuno di daerah Babagan menjadi tujuan ku selanjutnya.

Aku sebenarnya sudah pernah melihat beberapa bengkel kerja batik. Tapi yang satu ini...memang sungguh luar biasa. Aku cuma mengamati tingkah polah para peserta yang seperti menemukan sebuah oase di padang pasir. Segaaarrr!! Batik-batik itu sungguh membuat mereka segar dan bergairah.
Sampai di Rumah Pak Sigit
Menjemur batik
Hidangan makan siang sudah tersedia. Sambil sibuk menelisik satu per satu batik yang ada, mereka menyantap berbagai macam menu lokal khas Lasem/Rembang. Dan di meja yang lain terdapat es cincau dan aneka jajan pasar. Hmmm...sedap!!! Ada rasa iri menyelinap di hatiku. Andai semua ini untuk aku.....!!!

Waktu yang semakin mepet membuat mereka harus bergegas. Pop, yang sedianya menjadi pemimpin dari acara jalan-jalan ini mendadak harus meninggalkan acara. Ketika Hopia yang tadinya tak begitu menarik minat para peserta, namun ketika akhirnya ada yang mencoba dan mengabarkan kelezatannya, sontak serombongan itu berebutan minta dibelikan Hopia sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang.
Di sudut ruang, Pop berkoordinasi dengan tim nya. Ah aku tak bisa mendengar apa yang sedang ia bicarakan. Nyatanya sepeninggal Pop, seorang dari Bhre Lasem mengambil alih kendali.


Hopia

Kalap Berbelanja

Teman-teman Bhre Lasem



Sebelum acara belanja batik menjadi 'chaos' dan tak dapat dihentikan, para peserta digiring untuk berkunjung ke pengrajin batik yang lain. Namanya Henry. Aku berusaha mengintip dan membandingkan batik-batik itu. Jika natik pak Sigit terkesan elegan, Batik Henry terlihat lebih berwarna. Selain itu ada dua buah pengrajin batik lain yang ikut bergabung: Batik pak Parlan yang mengunggulkan batik Lasem dengan cita rasa Jawa dan Batik Maranatha yang bercorak klasik.

Seharusnya acara belanja batik di tempat Henry merupakan acara penutup dari acara jalan-jalan ini. Aku sendiri sudah bersiap-siap berpisah dengan mereka semua, kembali pulang, dan bercerita tentang gegap gempitanya acara Heritage Trail ini. Tapi, rombongan meminta untuk sejenak mengunjungi Museum Kartini di Rembang dan pusat oleh-oleh di Lasem.

Ouuucchhh!! Oke!!! Sekali lagi aku mengamati Pop dan teman-temannya. Berusaha mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Yang kulihat adalah Pop dan seorang temannya naik ke bis itu, sementara yang lainnya pulang. 
"Woooiii.....!!! Tunggu aku!!! Aku juga ingin ikut kalian!" Aku berusaha berteriak memanggil Pop. Berharap ia dengar dan menungguku. Bergegas aku menyelinap naik ke dalam bis dan duduk di pojokan. 
Setengah jam aku sibuk mengamati mereka semua. Wajah-wajah ceria itu! Kelakar yang tak henti-henti. Sungguh sore yang menyenangkan.

Tak sampai satu jam Rembang sudah di depan mata. Dan beberapa waktu kemudian saya sudah berada di pintu masuk Museum Kartini. 
Saya enggan berada di dalam. Malas saja bertemu yang seperti saya namun saya tak mengenalnya. Saya memang tidak mudah berteman dengan orang asing.

Hingga akhirnya saya tertidur dan tahu-tahu saya sudah berada di tengah pemukiman yang menjadi sentra oleh-oleh di Lasem. Gegap gempita! Kata itu yang paling tepat buat menggambarkan kondisi para peserta saat itu. Meski harus ada yang kecewa karena barang yang diidamkannya tidak dapat dibeli.

Di pinggir jalan raya pantura itu akhirnya kami semua berpisah. Rombongan pulang ke Surabaya. Pop dan temannya harus kembali ke Lasem lalu harus menghadiri suatu acara. Aku??? Aku memandang ke sekeliling. Beberapa temanku memanggilku dan menuntutku untuk bercerita tentang pengalaman mengintip jalan-jalan pusaka tadi.
Baiklah!
Aku menghampiri mereka. Menyelinap diantara teralis jendela di sebuah rumah tua berarsitektur Cina yang hampir ambruk. Bergabung bersama teman-temanku yang sedang duduk berkeliling, menunggu kedatanganku.
Dan teman, inilah ceritaku.....


Peserta Heritage Trail


.


2 komentar:

  1. Terima kasih sudah mengintip dan bercerita. Tulisan yang keren, mbak Rani :)

    BalasHapus