Garudeya: Tentang Bakti kepada Ibu
Garudeya di Candi Sukuh |
Bayangkan sebuah istana di atas langit sana! Sebuah
istana yang indah dan luas yang berselimut awan. Di sekitarnya terhampar
bentangan langit biru bak permadani. Gulungan putih yang tersibak embusan
angin, seolah menjadi gerbang bangunan yang rupawan tersebut. Istana itu, boleh saja terbuat dari batu
andesit yang dipahat indah dan berhiaskan pahatan-pahatan relief yang rumit tetapi
justru menambah kemegahan dan kecantikan bangunan tersebut. Saya juga
membayangkan di dalam komplek istana itu terhampar halaman yang luas dengan taman
yang indah, dilengkapi dengan gemericik air kolam yang bisa meneduhkan hati. Di
taman yang indah itu, sesosok perempuan dengan sorot mata sayu sedang duduk di
sana, bertugas dan berkewajiban menemani anak-anak tirinya yaitu para ular dan
para naga yang mungkin sedang asyik bermalas-malasan atau mungkin hanya sekedar
bersenda gurau. Sementara di pojokan taman, sesosok garuda – anak dari wanita
itu - menatap pilu pemandangan tersebut. Ada perih yang perlahan menyelinap di
hatinya.
Saya menghela napas. Rasa pilu yang dirasakan Garudeya
– nama dari sosok garuda itu - mendadak ikut mewarnai hati. Gambaran salah satu
scene versi saya tentang perbudakan
Dewi Winata bermain-main di dalam angan. Sementara itu, semilir angin berhembus
menerpa wajah dan perlahan membawa pergi segala angan. Hari masih belum terlampau siang ketika pada
akhirnya saya berada di tempat ini. Ini pertama kalinya saya berada di sini. Di
salah satu situs candi penting di belahan timur Pulau Jawa. Tepatnya di sebuah
kota kabupaten kecil di daerah Malang. Nama situsnya adalah Candi Kidal.
Layaknya
candi-candi di Jawa Timur pada umunya, Candi Kidal memiliki morfologi khas
candi Jawa Timur. Langsing dengan atap
berundak-undak. Meski candi ini tergolong penting, namun bukan itu alasan saya
mengunjungi tempat ini. Kisah Garudeya yang terpahat di badan candi inilah yang
membuat saya memutuskan untuk berada di sini. Ya! Saya memang menggemari
kisah-kisah mitologi. Bersama dengan gemerisik daun yang tertiup angin, saya
kembali menekuni barisan-barisan tulisan pada papan informasi yang terletak di
depan candi.
“Tersebutlah kisah di awal mula peradaban. Bhagawan
Kasyapa mempunyai istri berjumlah delapan. Anak keturunannya lahir sebagai
dewa, manusia, raksasa dan hewan. Dua Istri Sang Bhagawan, Dewi Winata dan Dewi
Kadru selalu berada dalam persaingan. Dewi Kadru mempunyai anak tiga ekor ular,
sedangkan Dewi Winata mempunyai dua orang anak, salah satunnya bersosok burung. Anak tersebut dinamai
Garudeya.
Syahdan, Dewi Kadru mengajak bertaruh Dewi Winata pada
warna ekor kuda putih Uccaihswara. Kelicikan Dewi Kadru telah membuat Dewi
Winata kalah dalam pertaruhan sehingga mengakibatkan Dewi Winata dijadikan
budak oleh Dewi Kadru..
Beranjak dewasa, Garudeya akhirnya mengetahui mengenai
kisah perbudakan itu. Singkat cerita, Garudeya berusaha membebaskan ibunya
meski harus melawan para dewa demi air suci Amerta.”
Sekali lagi saya termangu. Kisah Garudeya yang
berbakti pada ibunya ini amat menyentuh hati. Meski kisahnya baru saya tangkap
jelas setelah membaca keterangan yang terpasang pada papan informasi namun buat
saya kisah ini sungguh sempurna. Perlahan saya membaca kembali kisah ini lewat
tiga buah relief yang ada di candi. Kondisi relief yang sudah tidak sempurna
membuat otak saya harus bekerja ekstra keras untuk menangkap kisah indah ini.
Garudeya, yang kemudian ditahbiskan menjadi kendaraan
Dewa Wisnu agaknya telah menjadi sebuah
ikon tentang bakti seorang anak kepada ibu. Beberapa pengunjung yang sedang
duduk tak jauh dari saya sedang berbincang tentang itu. Selain itu, kisah heroik Garudeya dalam rangka membebaskan
Sang Ibu agaknya telah membuat beberapa pengunjung candi ini terlihat merenung
manakala mereka tengah mengamati dan membaca relief itu. Tiga buah relief yang
amat menyita perhatian pengunjung! Setidaknya itu yang saya tangkap ketika
berada di tempat ini waktu itu.
Garudeya dan tiga ular di Candi Kidal |
Garudeya membawa Tirta Amerta |
Simbol Garudeya di Candi Cetho |
Kisah Garudeya yang membebaskan ibunya dari perbudakan
di tempat ini jauh lebih jelas terbaca jalan ceritanya dibandingkan dengan kisah Garudeya yang terpahat di Candi Sukuh
dan Candi Cetho. Di candi Sukuh, kisah Garudeya yang terpahat pada fragmen batu, bercampur dengan relief-relief lain
yang umumnya berkisah tentang pengruwatan. Di Candi Cetho, kisah Garudeya yang
mencari tirta amerta bukan terpahat di batu namun berupa susunan batu di atas
tanah. Untuk melihat dengan jelas susunan batu tersebut, pengunjung harus
berada di satu tingkat lebih tinggi dari susunan batu tersebut. Simbol phallus (vagina) yang terletak di atas
susunan batu yang berbentuk Garuda tersebut terus terang membuat saya sedikit
salah tafsir tentang apa yang akan disampaikan oleh susunan batu tersebut. Selain
itu susunan batu tersebut hanya menampilkan salah satu scene saja dari kisah Garudeya.
Kembali lagi ke pelataran candi ini, mata saya masih tertumbuk pada relief
Garudeya yang sudah tak utuh lagi. Garudeya, sebuah sosok yang tercipta
berabad-abad yang lalu nyatanya telah berhasil membuat para pejalan larut dalam
kisahnya. Memang! Kisah seorang anak yang berbakti kepada ibunya agaknya tak
pernah usang untuk diceritakan. Dan selalu menarik untuk direnungkan. Karena
bukankah nilai-nilai itu pada umumnya telah ditanamkan pada kita sejak kecil,
bukan?
Siang semakin menjelang. Sebelum saya mengakhiri kunjungan
ini, terngiang sebuah sloka yang termaktub dalam Pustaka Suci Manawa Dharma
Sastra:
“abhi wadanacilasya, nityam wrddhopasewinah, catwari
tasya madhante, ayurwidya yaco balam.”
(Ia yang sudah biasa menghormati dan selalu taat
kepada orang tua mendapatkan tambahan dalam empat hal yaitu umur panjang, pengetahuan,
kemasyuran, dan kekuatan)
Bersamaan dengan langkah kaki yang meninggalkan tempat
ini, bayangan istana megah di atas langit perlahan memudar. Tak ada sorot mata
sayu Dewi Winata yang terekam di angan. Atau kepedihan hati Garudeya yang tadu ikut
terasa. Saya hanya membayangkan senyum Garudeya yang mengembang lebar di
wajahnya karena pada akhirnya ia berhasil membebaskan sang Ibu dari hukuman.
Sesungguhnya tiada yang lebih menggembirakan dari
memuliakan seorang ibu…
Tabik!
0 komentar: