Boko dalam Kekinian
Diiringi suara mesin kereta api, saya menaiki anak tangga menuju Ratu Boko. Ini kunjungan kedua setelah lebih dari tiga tahun tidak menyambangi tempat ini. Kali ini, saya akan berburu sunset.
Ratu Boko yang dulu saya kenal tak begini. Tak bersolek centil bak perawan yang sedang mekar-mekarnya. Boko yang dulu saya kenal amat bersahaja dalam kesederhanannya.
Baru beberapa langkah berjalan, saya berhenti. Mencoba duduk di bangku taman artistik yang terbuat dari besi tempa sambil menikmati duo merapi merbabu yang malu-malu menyembul dari balik awan. Beberapa pelancong berlalu-lalang, ada yang terengah-engah, ada yang tergelak, ada yang berkali-kali mengeluarkan pujian bagi keindahan alam Boko. Siapa sih yang tidak jatuh cinta pada kemolekan alam Boko?
Saya melanjutkan perjalanan. Lagi-lagi terdengar desingan bunyi kereta dari kejauhan. Terus menaiki anak tangga hingga akhirnya wajah Ratu Boko nampak. Ada keterkejutan sedikit di hati. Boko bersolek tapi entah mengapa saya merasa ia bersolek sedikit lebay. Berbeda dengan candi-candi di Ayuthayya atau Siam Reap sana, Boko terlihat lebih 'wangi'. Rumput yang selalu terpangkas rapi, perdu dan bunga-bunga menghiasi pelataran Boko. Sebuah pagar besi berukuran sepinggang berdiri pongah, siap menghadang para pelancong yang nekat datang ke Boko namun tak sesuai jadwal jam buka. Sedikit kontras bila saya menjelajahi Bojo lebih ke dalam sana, tepatnya di seputar area keputren. Agaknya, pengelola Boko memang berniat 'menjual' area gerbang ini. Sedikit kecewa karena printilan-printilan itu justru membuat karakter Boko menjadi sedikit memudar.
Sementara saya sibuk menyapa bebatuan di tempat ini, beberapa pelancong sedang mengapresiasi keindahan Boko dengan cara mereka sendiri. Berlenggak-lenggok centil atau bergandengan tangan dengan kekasih lalu mengabadikan keriangan mereka dalam gambar dua dimensi. Ah, saya jadi teringat ucapan seorang kawan. Bahwa kita saat ini kebanyakan mengapresiasi karya indah masa lalu justru dengan cara memunggunginya. Saya terbahak dalam hati. Ah, andai kali ini saya tak datang sendirian mungkin saya pun akan begitu juga.
Semakin menjelang senja orang semakin ramai datang ke tempat ini. Menggunakan seluruh sudut Boko dan taman-taman indahnya untuk (lagi-lagi) sekedar berfoto narsis bersama para sahabat. Sementara beberapa pecinta fotografi sibuk memasang berbagai peralatan. Berusaha menyiapkan segala sesuatu demi foto terbaik akan sebuah senja indah yang jatuh menimpa bebatuan hitam.
Bersamaan dengan adzan Maghrib yang berkumandang, saya meninggalkan tempat ini. Enggan sebenarnya tapi mau bagaimana lagi?
Setidaknya rindu pada candi sore ini sedikit terobati.